Minggu, 22 Desember 2013

Menunda-nunda Jokowi

http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/3058-menundanunda-jokowi.html

Jumat, 13 Desember 2013 | 12:14
Salah satu upaya yang ditempuh SBY untuk mendongkrak elektabilitas Partai Demokrat adalah menggelar konvensi. Tujuannya menjaring figur capres 2014 yang kira-kira mampu memulihkan Partai Demokrat yang kini mulai sekarat. Tujuan konvensi sebenarnya bukan semata hendak menjaring figur nonparpol.
Dominasi kepemimpinan SBY selama ini menyebabkan Demokrat mengalami krisis kader. Tunas-tunas potensial tak tumbuh di kebun Demokrat. Konvensi pun ditempuh sebagai jalan keluar. Namun, tentu saja, SBY tahu betul upaya itu tak akan mudah. Salah mengusung capres, wajah Demokrat--yang belakangan dicakar habis-habisan oleh publik yang geram melihat berbagai pelanggaran yang dilakukan kader-kadernya--bisa semakin sekarat.
Momentum Tepat
Kalau SBY tengah “mencari” figur yang lengkap, Megawati justru menyia-nyiakan kesempatan emas agar elektabilitas PDIP semakin terdongkrak. Dua kali mendapat “penalti politik”, Megawati justru gagal mencetak gol.
Sebagai parpol oposisi, publik menaruh harapan besar pada PDIP, karena parpol berkuasa dinilai gagal. Sementara Jokowi, jelas-jelas merupakan “bonus politik” yang membuat PDIP menjadi semakin di depan. PDIP punya stok kader potensial.
Dua momentum tepat ternyata disia-siakan PDIP untuk mendeklarasikan Jokowi sebagai capres. “Penalti politik” pertama adalah 17 Agustus 2013. Dalam semangat peringatan kemerdekaan Indonesia, para pendukung Jokowi menilai, deklarasi Jokowi akan lebih monumental. Jokowi menjadi simbol kebangkitan.
Sedangkan “penalti politik” kedua adalah Rakernas III PDI-P pada 6-8 September 2013. Banyak kader PDIP di daerah yang mendukung pencapresan Jokowi. Sebab itu, deklarasi dalam rakernas dinilai tepat, sekaligus bisa semakin mempererat soliditas parpol.
Megawati tak mungkin tak mendengar aspirasi dari bawah. Dukungan dari daerah semakin hari semakin menguat. Salah satunya disuarakan oleh Ketua DPD PDI-P Aceh Karimun Usman. Menurutnya, masyarakat Aceh juga menaruh harapan besar pada Jokowi. Bahkan, jika Jokowi yang diusung, dia berani menjamin PDIP bisa mendapat suara di atas 10 persen di Aceh (Beritasatu.com, 13 September 2013).
Di daerah-daerah lain malah sudah ada organisasi relawan Jokowi. Mereka terus mendesak PDIP segera menetapkan Jokowi sebagai capres. Bahkan ada seorang penggemar Jokowi menulis di Facebook: “Tanpa Jokowi (di Pilpres 2014), ya, golput!”
2014, 2019, dan Tidak
Dari sejumlah diskusi, ada tiga opini yang mengemuka. Pertama, mereka yang menolak atau tidak setuju sama sekali Jokowi menjadi capres. Kelompok ini secara otomatis tak setuju pula jika Jokowi menjadi presiden Indonesia. Alasannya macam-macam. Salah satu penilaiannya, Jokowi hanyalah figur yang berhasil di daerah. Kapasitasnya dianggap tidak memadai memimpin sebuah negara dengan problem multikompleks, yakni korupsi, terorisme, kemiskinan, peredaran narkoba, krisis air bersih, konflik di daerah, dan sebagainya. Jokowi dinilai tak akan mampu menyelesaikan persoalan “labil ekonomi”.
Argumen ini mudah dipatahkan dengan mengajukan pertanyaan: jika Jokowi tak pantas jadi presiden karena sebatas sukses di daerah, apakah figur-figur lain yang hendak "nyapres" pernah sukses memimpin sebuah daerah? Bahkan ada yang tak pernah jadi kepala daerah. Dalam “standar” Jokowi, Sunny Tanuwidjaja berpendapat, harus digunakan “penggaris” yang sama untuk mengukur masing-masing figur.
Kedua, mereka yang mendukung Jokowi, tapi dengan pengecualian Jokowi maju di Pilpres 2019. Alasannya, Jokowi lebih baik mengurus Jakarta terlebih dahulu. Jokowi lebih baik menyelesaikan dahulu semua program kerjanya untuk membenahi Jakarta. Jokowi lebih baik mengakumulasi lebih banyak prestasi. Hingga saatnya nanti, ketika Jokowi semakin fenomenal, barulah ia diusung sebagai capres.
Ketiga, mereka yang mendukung Jokowi menjadi capres 2014. Ambisinya jelas: Jokowi harus disegerakan menjadi presiden Indonesia sebelum Republik ini semakin babak-belur. Jokowi dinilai mampu bekerja cepat dan tegas. Sebab itu, Jokowi harus diusung sekarang, tidak boleh nanti-nanti. Dengan segenap capaiannya selama ini, publik berharap Jokowi bersedia tak hanya membenahi Jakarta, tapi juga Indonesia. Mereka yang berharap Jokowi sebagai capres 2014 menilai Jokowi bukan cuma milik warga Jakarta. Jokowi adalah harapan nasional. Dia milik semua orang. Jokowi aset bangsa. Dia sosok visioner dan tidak melempem.
Sebagaimana mengharapkan Jokowi, para pendukung setia Jokowi juga terus mendesak Megawati mengusung “anak ideologis”-nya itu. Atau jangan-jangan, Megawati memang sudah memutuskan Jokowi sebagai capres, tapi belum menemukan momentum tepat untuk menyampaikannya ke publik. Deklarasi dini pun punya risiko politik tersendiri. Memajukan Jokowi terlalu dini, sama saja memberi durasi yang lebih panjang bagi musuh-musuh politik untuk menggoreng Jokowi hingga gosong.
Segala upaya akan ditempuh untuk menjegal Jokowi, baik secara halus maupun sebaliknya. Misalnya, kebijakan pemerintah tentang produksi mobil murah diduga salah satu langkah membusukkan Jokowi. Di tengah kerja keras menyelesaikan masalah kemacetan, hadirnya mobil-mobil murah justru akan semakin menambah keruwetan. Ujung-ujungnya, muncul penilaian: Jokowi gagal membenahi Jakarta.
Karena Jokowi bukan figur yang biasa-biasa saja, maka pendeklarasiannya lebih baik tidak di hari yang biasa-biasa saja. Tidak boleh di sembarangan tanggal. Timing penting! Rakernas sudah berlalu. 17 Agustus 2013 juga sudah lewat. Tak mungkin mendeklarasikan Jokowi pada 17 Agustus 2014, sebab Pilpres 2014 akan dilangsungkan dua bulan setelah pemilu legislatif (9 April 2014). Artinya, kemungkinan besar Pilpres 2014 digelar pada bulan Juli.
Namun, tenang saja. Harapan belum pupus. Masih ada momentum hari ulang tahun PDIP ke-41 pada 10 Januari 2014. Megawati tidak boleh mengecewakan pencinta Jokowi lagi. Megawati adalah tower PDIP. Publik semakin berharap Megawati memancarkan sinyal pencapresan Jokowi.
Bibit bangsa itu bernama Jokowi. Kini ia semakin subur. Terpaan angin padanya pun semakin keras. Namun, publik terus menyiramnya dengan harapan. Megawati telah memupuknya. Sekarang terserah Megawati: mau memperkuat atau menebang pohon yang sudah dibesarkannya. Yang harus diingat, banyak pula yang hendak meminang Jokowi. Kalau Jokowi nanti ”diambil” orang, baru tahu rasa. Jadi, jangan menunda-nunda Jokowi!
KOMENTAR
  

Freddy - Rabu, 18 Desember 2013 | 01:59
Penampilan boleh sangat sederhana dan bersahaja kalo tampil dipublik cenderung low profile namun tegas berani tapi tetap menghibur...boleh beliau pak jokowi diibaratkan dengan mobil Nissan bermesin Ferrari bro..tutur kata lembut senyum kalem lah tapi kerjanya galaaakkkkk, ya kan ya kan....tuuh dia calon pemimpin negeri kita !
Balas
0
0
Eka - Selasa, 17 Desember 2013 | 16:37
JOKOWI AHOK pasangan ideal capres cawapres 2014....Indonesia pasti jadi lebih baik.
Balas
0
0
Rahmadi - Jumat, 13 Desember 2013 | 17:42
mantap bg...luar biasa...
sang jokowi kali nyoe,,,,,hahaahaa

1 komentar:

  1. KotaBugil.com Kumpulan foto vulgar dewasa terupdate gambar HD
    NovelSeks.org Koleksi cerita sex terbaru piliham terbaik
    LihatMovie.com Situs nonton film bioskop online sub indo
    TMK17.com Streaming nonton video bokep HD full movies

    BalasHapus